loading…
Staf Khusus Menteri Keuangan RI Candra Fajri Ananda. FOTO/DOK.SINDOnews
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
DEMOKRASI dan ekonomi merupakan dua pilar penting dalam pembangunan masyarakat, apalagi di era modern saat ini. Keterkaitan antara keduanya menjadi semakin jelas dan kompleks. Demokrasi, dengan kebebasan berpendapat, partisipasi publik, dan mekanisme pengambilan keputusan yang transparan, membentuk kerangka kerja kelembagaan (institutional framework) dalam memengaruhi hampir semua kebijakan negara, termasuk kebijakan ekonomi. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang ada di suatu negara, akan memengaruhi kualitas demokrasi dan stabilitas politik negara tersebut.
Pada sistem demokratis, keputusan ekonomi merupakan hasil olah preferensi publik sebagai hasil proses politik yang ada. Masyarakat memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan ekonomi melalui hak suara yang dimiliki, melalui wakil-wakil mereka di parlemen. Pada konteks ini, demokrasi merupakan ‘alat’ mempromosikan inklusivitas dan distribusi yang lebih adil dalam kebijakan ekonomi. Oleh sebab itu, melalui sistem demokratis yang kuat, perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak ekonomi, mampu diwujudkan dengan lebih baik.
Pada perjalanannya, hubungan antara demokrasi dan ekonomi tak selalu berjalan mulus. Ketimpangan ekonomi yang tinggi, korupsi, atau ketidak efisienan ekonomi dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi negara. Hal tersebut dapat berujung pada ketegangan sosial, ketidakpuasan politik, dan bahkan mengancam stabilitas negara secara keseluruhan.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa demokrasi yang stabil dan inklusif dapat mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Adanya kebebasan berpendapat, perlindungan hukum, dan keamanan politik diyakini dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi, inovasi, dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Realita Asimetris Informasi
Fondasi filosofis dari demokrasi modern banyak dipengaruhi oleh teori klasik politik yang dikembangkan oleh para pemikir besar seperti John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan Montesquieu. Menurut teori klasik, demokrasi bukan hanya tentang pemilihan pemimpin melalui pemilu, tetapi juga tentang kedaulatan rakyat, partisipasi aktif warga negara dalam proses politik, dan perlindungan terhadap hak-hak individu.
Teori klasik demokrasi menawarkan gambaran ideal bahwa semua individu yang terlibat dalam proses politik akan berperilaku secara rasional dan independen. Oleh sebab itu, dalam teori klasik, setiap warga dianggap memiliki akses yang sama terhadap informasi yang relevan dan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan yang terinformasi. Akan tetapi, dalam kenyataannya, implementasi teori ini seringkali tidak sejalan dengan praktiknya.
Fenomena asimetri informasi menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi perilaku politik di dalam masyarakat. Elite politik, kelompok kepentingan, dan media massa sering memiliki kontrol yang besar terhadap narasi dan informasi yang disampaikan kepada publik. Akibatnya, individu-individu yang terlibat dalam proses politik sering kali bergantung pada sumber informasi yang terbatas atau terdistorsi.
Di Indonesia, berdasarkan Global Open Data Index (2018) Indonesia berada di peringkat ke-61 dari 94 negara dalam indeks keterbukaan informasi publik. keterbukaan data di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga. Indonesia berada di bawah Singapura dan Thailand yang masing-masing berada di ranking 17 dan 51. Selain keterbukaan data yang terbatas, Indonesia juga kerap diserang oleh informasi sesat atau hoax. Karena itu, kementerian/lembaga dinilai perlu meningkatkan akses yang lebih luas ke masyarakat melalui kapasitas analisasi kuantitatif.
Keterbukaan informasi memegang peranan krusial dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat. Tatkala informasi tersedia secara transparan dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat, maka akan tercipta lingkungan di mana keputusan politik dapat diambil dengan lebih tepat dan berdasarkan pemahaman yang lebih baik. Sayangnya, berdasarkan laporan Komisi Informasi Pusat (KIP), Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) di Indonesia sebesar 75,40 poin pada 2023. Nilai tersebut mengalami kenaikan 0,97 poin dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 74,43 poin. Akan tetapi, meski terjadi peningkatan, namun angka tersebut masih menandakan bahwa keterbukaan informasi di Indonesia masih berada dalam kategori sedang. Artinya, Indonesia masih perlu terus berupaya mendorong peningkatan keterbukaan informasi demi mengurangi terjadinya asimetris informasi yang sering kali menjadi hambatan dalam proses politik.
Keterbukaan informasi, diperlukan untuk membuat keputusan yang informasional. Keputusan yang tidak memanipulasi atau menyesatkan, demi kepentingan vested interest. Melalui keterbukaan informasi, proses pembuatan keputusan politik menjadi lebih transparan dan akuntabel, yang merupakan salah satu prinsip dasar dari demokrasi yang sehat.