loading…
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Prof Syamsul Maarif.
JAKARTA – Dalam peradaban Islam, umara/pemerintah dan ulama memiliki hubungan erat karena eksistensi salah satunya sangat berpengaruh terhadap yang lainnya. Kolaborasi ulama dan umara yang adil dan bijaksana, tidak hanya menghasilkan tata kelola pemerintahan yang efektif, namun juga dapat menjadi teladan bagi rakyat yang mereka pimpin. Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Prof Syamsul Ma’arif mengatakan, keakraban kaum ulama dengan unsur pemerintahan di Indonesia, sebenarnya sudah dimulai dari masa perjuangan kemerdekaan. Kala itu, para kiai ikut menyerukan ribuan santrinya untuk ikut berjihad mengusir penjajah dari Bumi Pertiwi. “Hubungan ulama dan umara di Indonesia begitu kuat, dan ini sudah berlangsung sejak lama. Hal ini bisa tergambar dari seruan Mbah Hasyim Asy’ari di masa perjuangan, yang berbunyi ‘hubbul wathan minal iman’ artinya ‘cinta negara atau nasionalisme adalah…
Menurutnya, ulama yang memiliki kedekatan tertentu dengan pemerintah tidak bisa langsung dijustifikasi sebagai suatu kezaliman. Apalagi jika menelisik akar historis simbiosis keduanya yang sudah tertanam, bahkan sebelum Indonesia dinyatakan merdeka. Alasan lainnya adalah belum tentu hasil akhir dari kolaborasi keduanya pasti menghasilkan kemudharatan bagi rakyat Indonesia. Umumnya, kolaborasi yang terjadi justru menghasilkan perundang-undangan dan tata kelola negara yang lebih komprehensif karena melibatkan ulama-ulama yang menjadi corong kepentingan masyarakat. Prof Syamsul yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Koordinasi Pencegahan…
Akademisi yang pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Kota Semarang ini menilai adanya upaya delegitimasi dari kalangan tertentu terhadap ulama moderat dan para santri. Walaupun demikian, Prof. Syamsul menganggap bahwa narasi yang menyudutkan ini biasa terjadi di negara demokrasi dan cukup ditanggapi dengan santai. “Terkait dengan adanya upaya delegitimasi ulama moderat, khususnya dari kalangan Nahdlatul Ulama yang dianggap ‘cinta dunia’ karena kedekatannya dengan Pemerintah, kita cukup tanggapi dengan santai saja. Bisa jadi ungkapan itu keluar…
Prof Syamsul berpendapat, mereka yang kini dilirik pemerintah untuk menempati posisi strategis di Indonesia bukanlah murni kedekatan personal semata, namun juga dengan kecakapan pribadi dan karakter yang dapat diandalkan. Terlebih lagi, dengan diberi wewenang yang lebih luas, kalangan agamis yang moderat juga dianggap bisa memberikan manfaat dan pengaruh positif dengan lebih luas. “Menurut saya, justru akan semakin baik jika pengelolaan sumber daya dan kepentingan negara diserahkan pada orang-orang yang memiliki ilmu agama yang mumpuni, daripada diserahkan ke orang…
Walaupun demikian, Prof Syamsul juga tidak menampik bahwa ilmu agama dan kedekatan dengan Pemerintah tidak bisa dijadikan modal tunggal untuk mempromosikan diri seseorang, tanpa dibekali kemampuan pendukung lainnya. Masyarakat juga dihimbaunya agar tidak terlalu cepat menilai kapasitas seseorang atau kelompok tanpa mengetahui keseluruhan latar belakangnya. “Rakyat Indonesia jangan mudah termakan narasi yang bernuansa dikotomis dan memecah belah persatuan bangsa. Kepercayaan Pemerintah Indonesia sebagai penyelenggara negara terhadap ulama nusantara dalam pengelolaan Hajat…
(abd)