Kusfiardi, Analis Ekonomi Politik FINE Institute. Foto/Istimewa
INDONESIA masih mengandalkan pengumpulan pajak dengan cara yang cenderung membebani rakyat. Bukannya menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan mendorong masyarakat mencapai Penghasilan Kena Pajak (PKP), pemerintah justru menggunakan instrumen pajak seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan cukai untuk meraup penerimaan negara. Instrumen pajak konsumsi ini cenderung lebih menyasar kelas menengah, yang secara perlahan semakin merasa tercekik oleh beban pajak, terutama karena daya beli mereka tidak meningkat seiring dengan kenaikan beban tersebut.
Menurut Teori Kurva Laffer, ada batas optimal dalam pengenaan pajak. Jika pajak terlalu tinggi, dapat terjadi penurunan insentif untuk berproduksi atau berbelanja, yang pada akhirnya justru akan menurunkan penerimaan negara. Indonesia saat ini mengandalkan PPN dan cukai yang dapat menghambat konsumsi kelas menengah, terutama ketika daya beli mereka melemah akibat tekanan ekonomi global. Rasio pajak terhadap PDB Indonesia pada 2022 tercatat sekitar 9-10%, salah satu yang terendah di kawasan ASEAN, menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya mampu memaksimalkan penerimaan pajak secara efisien.
Sementara itu, pemerintah cenderung boros dalam mengalokasikan anggaran sosial bagi kelompok miskin melalui program-program bantuan sosial (bansos), yang pada dasarnya bertujuan meningkatkan konsumsi domestik. Namun, menurut Teori Redistribusi Keynesian, redistribusi pendapatan melalui bantuan sosial hanya efektif jika digunakan untuk meningkatkan produktivitas jangka panjang, bukan sekadar menambah konsumsi sementara. Tanpa ada program yang mendorong peningkatan keterampilan dan kapasitas ekonomi, kebijakan ini hanya berfungsi sebagai solusi jangka pendek dan tidak memperkuat fondasi ekonomi.
Ketika penerimaan negara tidak diiringi dengan kebijakan ekonomi yang memadai untuk meningkatkan sektor-sektor produktif, ekonomi akan terjebak dalam pertumbuhan yang stagnan. Teori Harrod-Domar menggarisbawahi pentingnya tingkat investasi yang tinggi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Jika pemerintah tidak fokus pada penciptaan lapangan kerja produktif dan investasi, Indonesia akan semakin sulit keluar dari jebakan middle-income trap.
Korupsi dan Inefisiensi Birokrasi: Hambatan Besar untuk Reformasi
Korupsi adalah salah satu masalah struktural yang terus menghambat perkembangan Indonesia. Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis oleh Transparency International menempatkan Indonesia pada skor 38 dari 100 pada tahun 2023, peringkat 110 dari 180 negara. Ini menunjukkan bahwa korupsi tetap menjadi penghambat utama bagi reformasi institusi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Teori Pertumbuhan Endogen, institusi yang lemah dan korupsi yang merajalela mengurangi insentif untuk berinovasi, sehingga menghambat pertumbuhan jangka panjang.
Korupsi yang meluas juga menciptakan inefisiensi birokrasi, yang menghambat investasi dan memperlambat proses reformasi ekonomi. Indeks Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business) dari Bank Dunia menempatkan Indonesia di peringkat ke-73 pada tahun 2020. Meski ada perbaikan, peringkat ini menunjukkan masih banyaknya hambatan birokratis yang harus diatasi. Proses perizinan yang lambat dan tidak transparan sering kali memperlambat arus investasi, dan meskipun UU Cipta Kerja (Omnibus Law) berusaha menyederhanakan perizinan, implementasinya belum sepenuhnya efektif dan justru menimbulkan kritik terkait pengabaian hak-hak pekerja dan penurunan daya beli publik.
Jebakan Pendapatan Menengah: Indonesia Masih Terperangkap
Dalam teori ekonomi pembangunan, middle-income trap terjadi ketika sebuah negara gagal bertransformasi dari ekonomi berbasis upah rendah dan ekspor komoditas menjadi ekonomi berbasis inovasi. Indonesia saat ini berada pada posisi yang rentan, di mana ketergantungan terhadap sektor komoditas dan minimnya nilai tambah menghambat transisi ke ekonomi yang lebih maju. Teori Neoklasik dan Modernisasi menekankan bahwa untuk keluar dari jebakan ini, sebuah negara harus beralih ke ekonomi berbasis teknologi dan inovasi, seperti yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Taiwan.
Untuk mendukung hal ini, Indonesia perlu meningkatkan Produktivitas Total Faktor (Total Factor Productivity – TFP) yang mencerminkan efisiensi dalam penggunaan sumber daya ekonomi. Namun, data menunjukkan bahwa produktivitas Indonesia stagnan dibandingkan negara-negara tetangga, dan ini semakin mempersulit jalan keluar dari jebakan pendapatan menengah.
Selain itu, distribusi pendapatan yang timpang masih menjadi masalah serius. Koefisien Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan, menunjukkan bahwa ketimpangan di Indonesia masih cukup tinggi. Meski bantuan sosial bertujuan mengurangi ketimpangan ini, program tersebut tidak cukup efektif tanpa adanya penciptaan lapangan kerja yang berkualitas dan berkelanjutan.
Perlunya Reformasi Struktural
Untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah, Indonesia memerlukan reformasi struktural yang mendalam. Teori Pertumbuhan Endogen menekankan pentingnya investasi dalam pendidikan, teknologi, dan inovasi untuk menciptakan ekonomi berbasis pengetahuan. Pemerintah harus mengubah fokus dari sekadar mencari penerimaan pajak melalui instrumen konsumsi dan mengurangi subsidi langsung, menuju penciptaan ekosistem yang mendukung produktivitas jangka panjang.
Jika tidak, kebijakan yang ada saat ini hanya akan memperpanjang ketergantungan terhadap solusi sementara, tanpa memperbaiki fundamental ekonomi yang kuat. Indonesia harus belajar dari negara-negara yang sukses keluar dari jebakan ini dengan membangun institusi yang kuat, meningkatkan investasi dalam inovasi, dan menciptakan lapangan kerja produktif yang berkelanjutan. (zik)