Revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dianggap sebagai bukti adanya ketidakpastian hukum di Indonesia. Perubahan ini memiliki dampak negatif terhadap penegakan hukum di negara ini, seperti kasus pagar laut Tangerang dan kasus timah yang menunjukkan ketidakpastian hukum karena kewenangan berlebihan yang dimiliki oleh jaksa.
Menurut Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi, kasus-kasus seperti pagar laut Tangerang melibatkan tiga lembaga penegak hukum, yakni Polri, KPK, dan Kejaksaan. Polri menangani aspek pidana umumnya, sementara KPK dan Kejaksaan berfokus pada dugaan korupsi. Hal ini mencerminkan kurangnya efisiensi dan ketidakpastian hukum karena dua lembaga berbeda menangani satu kasus korupsi.
Pemisahan fungsi kewenangan lembaga penegak hukum dalam KUHAP saat ini mencakup Polri dan PPNS sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum, dan hakim sebagai pengadil. KPK berperan sebagai lembaga ad-hoc untuk pemberantasan korupsi dengan fungsi penyidikan dan penuntutan yang digabung. Namun, kewenangan jaksa sebagai penyidik dalam UU Kejaksaan telah mengganggu keteraturan penegakan hukum dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Kasus timah, yang merupakan kasus korupsi terbesar di Indonesia, menunjukkan ketidakpastian hukum akibat kewenangan berlebihan jaksa. Terdapat perbedaan antara vonis hakim dan fakta kasus, menunjukkan adanya masalah serius dalam penegakan hukum di Indonesia. Penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk memperbaiki sistem penegakan hukum yang efisien dan dapat dipercaya.