Seksisme dan misogini sering kali dianggap serupa, tapi keduanya sebenarnya memiliki perbedaan mendasar. Seksisme berakar pada stereotip gender yang menempatkan perempuan dalam posisi lebih rendah dibanding laki-laki, sementara misogini mengandung unsur kebencian yang lebih dalam terhadap perempuan, melihat mereka sebagai pihak yang pantas ditindas atau dieksploitasi. Kedua bentuk diskriminasi ini terus berkembang di berbagai aspek kehidupan, baik dalam lingkungan sosial, dunia kerja, kebijakan publik, maupun media. Seksisme dan misogini kerap muncul dalam tayangan televisi yang masih mempertahankan representasi perempuan secara stereotip dan merendahkan. Menurut laman Komnas HAM, keberlanjutan seksisme dan misogini dipengaruhi oleh penerimaan masyarakat terhadap praktik diskriminatif ini. Oleh karena itu, perubahan pola pikir, evaluasi terhadap kebijakan yang ada, serta regulasi yang lebih adaptif sangat diperlukan agar seksisme dan misogini tidak terus direproduksi dalam kehidupan sehari-hari.
Seksisme merupakan diskriminasi atau prasangka berdasarkan jenis kelamin seseorang yang berakar pada keyakinan bahwa satu gender lebih unggul dibanding yang lain. Beragam bentuk seksisme terjadi mulai dari stereotip yang menghambat perempuan dalam dunia kerja hingga penggambaran yang tidak adil dalam media. Di sisi lain, misogini merupakan bentuk diskriminasi ekstrem yang mengandung unsur kebencian terhadap perempuan. Seorang misoginis melihat perempuan sebagai lebih rendah dan memperlakukan mereka dengan hinaan, kekerasan, atau tindakan merugikan. Misogini sering muncul dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam dunia kerja, politik, dan media. Keduanya, baik seksisme maupun misogini, bertentangan dengan hak asasi manusia yang menegaskan kesetaraan dan keadilan. Oleh karena itu, kita harus terus meningkatkan kesadaran, menolak anggapan bahwa seksisme dan misogini adalah hal biasa, serta mendorong perubahan cara pandang agar perempuan diperlakukan dengan adil dalam segala aspek kehidupan.