Presiden Prabowo Subianto telah berjanji untuk menciptakan 8 juta lapangan kerja dalam lima tahun ke depan dengan strategi investasi dan hilirisasi proyek di sektor minerba, pertanian, dan perikanan. Namun, di tengah optimisme akan realisasi janji tersebut, masyarakat dihadapkan pada tantangan berat berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal.
Data menunjukkan bahwa PHK telah terjadi sejak tahun 2022, dengan industri tekstil, garmen, alas kaki, pertanian, perdagangan, pertambangan, jasa, dan sektor start-up mengalami PHK. Angka PHK semakin meningkat, dengan Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 77.965 pekerja terkena PHK pada Desember 2024, naik 20,2% dibandingkan tahun sebelumnya. Bahkan data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) tahun 2025 mencatat ada 45.000 buruh di PHK, termasuk 38 perusahaan dengan jumlah terbesar di PT Sritex dan PT Karya Mitra Budi Sentosa.
PHK ini memberikan dampak buruk terhadap tingkat pengangguran di Indonesia, dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024 menunjukkan ada 7,19 juta (4,91%) masyarakat menganggur. Sementara menurut Data World Economic Outlook per April 2024, tingkat pengangguran di Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN, yaitu 5,2%.
Permasalahan ini disebabkan oleh regulasi yang tidak terkendali, lemahnya pengawasan pemerintah, dan penegakan sanksi yang kurang tegas. Sebagai contoh, Permendag No 8 Tahun 2024 telah menghasilkan tingginya impor tekstil dari China ke pasar domestik tanpa persyaratan persetujuan teknis, bahkan sebagian bersifat ilegal dan penyelundupan. Oleh karena itu, langkah-langkah perlu diambil untuk mengatasi masalah PHK massal dan pengangguran di Indonesia.