Denny JA kembali menegaskan posisinya sebagai sosok multidimensi dalam dunia sastra Indonesia. Melalui karyanya yang terbaru berupa 15 puisi esai, yang dirilis pada bulan Februari 2025, Denny JA tidak hanya menjelma sebagai seorang penyair, namun juga sebagai pemikir sosial, peneliti opini publik, dan pelaku politik yang ahli dalam membentuk narasi untuk merubah realitas sosial.
Menurut Pemerhati Sejarah dari Universitas Indonesia, Irsyad Mohammad, karya-karya Denny JA bukan sekadar puisi biasa, tetapi merupakan suatu refleksi yang dalam mengenai sejarah dan isu-isu kemanusiaan yang masih relevan hingga saat ini. Dalam karya puisi esainya kali ini, Denny JA mengangkat kisah 15 tokoh perjuangan Indonesia, seperti Tan Malaka, H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Bung Karno. Dengan menggabungkan puisi, esai, dan narasi berbasis data, karya Denny JA tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga kaya akan analisis sosial dan historis.
Dikenal sebagai pelopor Puisi Esai di Indonesia, Denny JA sering menggunakan pendekatan realisme sosial dalam karyanya, mirip dengan gaya penulisan John Steinbeck atau Emile Zola. Dengan memasukkan elemen riset dan fakta sejarah, puisi-puisi Denny JA bukan hanya sekadar karya sastra, melainkan juga dokumen sosial yang hidup.
Dalam karyanya, Denny JA menggunakan bahasa yang komunikatif dan lugas, yang berbeda dari gaya avant-garde yang cenderung eksperimental. Hal ini membuat karya-karyanya mudah dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat dan memungkinkan untuk diadaptasi ke dalam berbagai bentuk, seperti teater, cerita bergambar, atau film.
Serial 15 Puisi Esai berjudul “Mereka yang Mulai Teriak Merdeka” dari Denny JA membahas isu-isu kemanusiaan yang masih relevan hingga saat ini. Melalui cerita tentang tokoh-tokoh sejarah, seperti R.A. Kartini dan H.O.S. Tjokroaminoto, Denny JA menghidupkan kembali sejarah dengan sentuhan fiksi yang menggetarkan.
Denny JA menggunakan sastra sebagai alat untuk advokasi sosial, menjadikan sejarah sebagai latar belakang untuk merefleksikan isu-isu kontemporer, seperti diskriminasi, ketidakadilan sosial, dan penindasan. Ia membangun kesadaran publik dengan menggabungkan sastra, sejarah, dan advokasi sosial dalam karyanya, yang membuatnya dikenal sebagai pelopor Puisi Esai di Indonesia.