Arifin Halim adalah seorang Konsultan Pajak, Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak, Advokat, dan Lulusan dari Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya. Perubahan status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dari Satker BLU menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan dengan memberikan kemandirian. Namun, perubahan ini menciptakan masalah baru terkait beban pajak penghasilan bagi istri yang bekerja sebagai dosen. Apakah beban PPh ini adil? Bagaimana dampaknya terhadap kecerdasan bangsa?
Seorang dosen atau tenaga administrasi di PTN BH akan menerima 2 bukti potong (Bukpot): pertama, Bukpot BPA2/1721-A2 atas penghasilan tetap setiap bulan yang menjadi beban APBN; kedua, Bukpot BPA1/1721-A1 atas penghasilan setiap bulan yang menjadi beban dari Non-APBN. Beberapa potensi kurang bayar PPh bagi istri yang bekerja sebagai tenaga pendidik timbul karena interpretasi otoritas pajak terhadap penghasilan dari PTN BH yang dapat dianggap berasal dari 2 pemberi kerja. Padahal, penghasilan sebenarnya berasal dari satu pemberi kerja, yaitu “PTN BH yang sama”.
Menurut Pasal 8 ayat (1) UU PPh, penghasilan istri dari satu pemberi kerja seharusnya bersifat final, yang seharusnya tidak menimbulkan kurang bayar PPh. Namun, jika penghasilan dianggap dari 2 pemberi kerja, maka penghasilan yang seharusnya bersifat final dapat menjadi gugur. Hal ini dapat menyebabkan kurang bayar PPh pada pelaporan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi yang digabungkan dengan penghasilan suaminya. Dengan adanya 2 Bukpot BPA2 dan BPA1, maka terdapat 2 PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) yang berpotensi mengakibatkan kurang bayar PPh sebesar Rp8,1 juta. Masalah ini terkait dengan tidak diakui PTKP sebesar Rp54juta yang kemudian dikalikan dengan tarif progresif 15%.
Dalam hal ini, perlu adanya pemahaman lebih mendalam terkait interpretasi pajak penghasilan bagi dosen di PTN BH agar dapat mengatasi potensi kurang bayar PPh dan dampak negatif lainnya.