Perayaan Hari Valentine setiap tahun pada tanggal 14 Februari telah menjadi momen bagi banyak orang di seluruh dunia untuk mengekspresikan cinta dan kasih sayang. Namun, dalam konteks ajaran Islam, perayaan ini seringkali dipertanyakan karena dianggap tidak selaras dengan nilai-nilai keagamaan. Pandangan ulama tentang Hari Valentine beragam, ada yang melarangnya dan ada yang lebih fleksibel asalkan tidak melanggar prinsip agama. Perbedaan pendapat ini sering membuat umat Islam merasa bingung dalam menyikapi perayaan tersebut.
Untuk memahami lebih dalam, penting untuk melihat berbagai pandangan dari ulama dan pihak terkait. Beberapa menekankan aspek sejarah dan budaya Valentine, sementara yang lain fokus pada dampaknya bagi umat Islam. Ada sejarah panjang yang melatarbelakangi perayaan Hari Valentine, terkait dengan Santo Valentine yang menentang larangan pernikahan yang diberlakukan oleh Kaisar Romawi Claudius. Kematiannya pada 14 Februari 270 M memunculkan perayaan Hari Valentine sebagai simbol kasih sayang dalam tradisi Nasrani.
Di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan perayaan Hari Valentine sebagai sesuatu yang haram. Fatwa ini dikeluarkan untuk melarang umat Islam merayakan Valentine karena dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam dan berpotensi memunculkan perilaku yang bertentangan dengan nilai agama. Sementara lembaga fatwa Mesir, Dar al-Ifta, menyatakan bahwa umat Muslim tidak dilarang merayakan Hari Kasih Sayang selama tetap mematuhi syariat Islam.
Dengan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, disarankan agar umat Islam di Indonesia berhati-hati dalam menyikapi perayaan Hari Valentine. Menunjukkan kasih sayang sebaiknya dilakukan sehari-hari dengan cara yang sesuai dengan ajaran Islam, tanpa terlalu terikat pada tradisi non-Islam. Hal ini penting untuk menjaga niat dan perilaku sesuai dengan prinsip agama.