Berita  

Representasi Mahal vs Legitimasi Murah: Perbedaan yang Signifikan

Sejak zaman Romawi kuno hingga zaman Yunani kuno, isu mengenai imbalan dan representasi politik selalu menjadi perdebatan. Konsep memberi imbalan yang layak kepada pejabat publik tanpa menjadikan jabatan sebagai profesi atau privilese telah menjadi pertanyaan yang relevan dalam dunia politik. Di Indonesia sendiri, kontroversi seputar tunjangan anggota DPR mencuat ke permukaan yang membuat publik bertanya-tanya tentang keadilan moral di balik fasilitas tersebut.

Aristoteles mengajarkan prinsip keadilan distributif, bahwa seseorang seharusnya mendapat imbalan sesuai dengan kontribusinya. Namun, kontribusi anggota DPR seringkali tidak sebanding dengan imbalan yang diterima, dengan rendahnya kehadiran rapat, legislatif yang tersendat, dan fungsi pengawasan yang lemah menjadi sorotan publik. Hal ini menyebabkan pertanyaan apakah layak bagi mereka untuk menerima imbalan yang besar.

Alasan biaya politik yang tinggi sering dijadikan dalih untuk memberikan gaji dan tunjangan besar kepada anggota DPR. Namun, hal ini dapat mengubah kursi DPR dari amanat rakyat menjadi instrumen investasi bagi mereka yang memiliki modal. Fenomena ini dijelaskan oleh Jeffrey Winters sebagai oligarki, di mana kekuasaan terkonsentrasi pada mereka yang memiliki modal dan menggunakan jabatan politik untuk kepentingan pribadi.

Dengan demikian, perdebatan seputar representasi politik dan imbalan yang diterima oleh anggota DPR menjadi semakin rumit dan kontroversial dalam konteks keadilan moral dan kepentingan publik. Menjaga keseimbangan antara imbalan yang layak dengan kontribusi yang substantif menjadi tantangan utama dalam membangun sistem politik yang sehat dan berdaya.

Source link

Exit mobile version