portal berita online terbaik di indonesia
Berita  

Syarat Usia Kepala Daerah Diubah MA, Dua Mahasiswa Gugat UU Pilkada ke MK

loading…

Dua mahasiswa yakni A Fahrur Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anthony Lee dari Podomoro University menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Foto/Dok SINDOnews

JAKARTA – Dua mahasiswa yakni A Fahrur Rozi dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anthony Lee dari Podomoro University menggugat UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam petitumnya, kedua mahasiswa ini ingin MK memutuskan bahwa syarat usia pasangan calon yang bertarung dalam pilkada dihitung sejak penetapan pasangan calon.

Permohonan Pengujian Materiil Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang ini diajukan dua mahasiswa tersebut pada Selasa, 11 Juni 2024.

Berikut Dalil-Dalil Pokok Permohonan:
1. Bahwa Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sejatinya mengatur tentang hak untuk memperoleh kesempatan untuk mencalonkan diri atau dicalonkan (Right To Be Candidate) dalam kontestasi pemilihan kepala daerah. Dalam hal ini, pemohon ingin memberikan penegasan…

Mereka juga menyinggung Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23P/HUM/2024 yang mengubah batas usia pasangan calon saat penetapan calon menjadi sejak pelantikan pasangan calon terpilih.

Diketahui,Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23P/HUM/2024 menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UndangUndang, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh)
tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.”

Menurut Pemohon, adanya Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 tersebut telah melahirkan 2 (dua) tafsir yang berbeda terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yaitu;
1. Tafsir yang memberlakukan syarat usia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak sejak penetapan Pasangan Calon.
2. Tafsir yang memberlakukan syarat usia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.

Dalam Petitumnya, kedua mahasiswa ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan ini untuk berkenan memutuskan:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon”;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.

“Apabila Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono),” demikian dikutip dari laman MKRI, Rabu (19/6/2024).

(zik)

Exit mobile version