Sunat Perempuan: Praktik dan Pandangan di Indonesia

Setiap tahun pada tanggal 6 Februari, dunia memperingati Hari Anti-Sunat Perempuan Sedunia. Sunat pada bayi perempuan menjadi kontroversi di kalangan orang tua. Ada pandangan yang menentang sunat perempuan karena dianggap tidak manusiawi, melanggar hak asasi, dan berpotensi membawa dampak negatif. Di sisi lain, ada yang memandang sunat perempuan sebagai bagian dari tradisi atau tuntunan agama. Perbedaan pandangan ini membuat diskusi seputar sunat perempuan terus berlangsung tanpa kesepakatan universal.

Definisi sunat perempuan berbeda antara Peraturan Menteri Kesehatan dan WHO. Permenkes menyebut sunat perempuan sebagai menggores kulit bagian depan klitoris tanpa melukai klitoris itu sendiri. Sementara itu, WHO menggolongkan sunat perempuan sebagai mutilasi alat kelamin perempuan. Di Indonesia, praktik sunat perempuan dilakukan dengan beragam cara. Mayoritas sunat perempuan dilakukan pada anak usia 1-5 bulan. Data SPHPN 2021 menunjukkan bahwa sebagian anak perempuan mengalami sunat berdasarkan kriteria WHO. Praktik sunat perempuan masih tinggi dan berisiko menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan dan kesejahteraan anak perempuan.

Organisasi kesehatan internasional menekankan pentingnya melindungi perempuan dan anak dari praktik sunat perempuan. Perdebatan seputar sunat perempuan bukan hanya tentang budaya atau kepercayaan, tetapi juga hak, kesehatan, dan perlindungan. Masyarakat dihimbau untuk mempertimbangkan konsekuensi kesehatan dan kesejahteraan anak sebelum melakukan praktik sunat perempuan. Melalui diskusi yang terbuka dan pendidikan yang tepat, diharapkan kesadaran akan pentingnya menjamin hak dan kesejahteraan perempuan dan anak akan semakin meningkat.

Exit mobile version