Fenomena hustle culture, yang memberikan tekanan pada kerja keras terus-menerus, sedang menjadi perhatian, terutama di kalangan generasi muda. Gaya hidup ini, yang dikenal sebagai “hidup untuk kerja”, dianggap berpotensi merusak kesehatan mental dan fisik kaum muda. Pemicu utama dari tren ini adalah media sosial, yang kerap menampilkan postingan prestasi yang memicu perasaan perbandingan diri dan mengganggu keseimbangan antara kehidupan pribadi dan karier.
Hustle culture adalah konsep yang berkembang dari workaholic, di mana tekanannya adalah untuk selalu produktif dan mengharuskan individu bekerja tanpa henti. Kecepatan hidup yang semakin meningkat dan dorongan untuk mencapai sukses dengan cepat turut mendorong perkembangan kultur ini. Hal ini membuat banyak generasi muda merasa perlu terus bergerak dan berprestasi, bahkan jika hal ini berarti mengorbankan istirahat dan kehidupan pribadi.
Dampak negatif dari hustle culture pada generasi muda sangat signifikan. Mulai dari gangguan kesehatan mental dan fisik, hingga munculnya perasaan perbandingan sosial dan ketidakpuasan diri. Studi menunjukkan bahwa tren ini juga dapat mempengaruhi kesejahteraan generasi muda secara keseluruhan. Banyak yang merasa bahwa hasil usaha mereka tidak sebanding dengan upaya yang mereka keluarkan, dan adanya penolakan kultural terhadap budaya kerja yang memaksakan diri secara berlebihan.
Beberapa generasi muda, terutama Gen Z, mulai menolak hustle culture demi mencapai keseimbangan hidup yang lebih baik. Mereka memilih kedamaian dan kesejahteraan atas pencapaian finansial instan. Dengan menyadari potensi bahaya dari kultur ini, generasi muda diharapkan dapat menemukan keseimbangan antara produktivitas, istirahat, relasi, dan kesenangan pribadi. Fokus pada keberlanjutan, kepuasan, dan kebahagiaan jangka panjang dianggap sebagai langkah penting dalam menciptakan hidup yang lebih sehat dan bermakna.