Satuan 81 Kopassus terdiri dari prajurit dengan kualifikasi di atas rata-rata. Unit antiteror elite ini memiliki visi misi tidak diketahui, tidak terdengar, dan tidak terlihat.
JAKARTA – Sejarah Satuan 81 Kopassus menarik diketahui. Unit antiteror elite milik Korps Baret Merah tersebut harum namanya hingga ke luar negeri karena berhasil dalam melaksanakan sejumlah operasi, baik militer maupun kemanusiaan. Beberapa operasi yang menyita perhatian antara lain Operasi Mapenduma yang membebaskan sandera 9 peneliti asing yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz di Papua pada 1996; Operasi pembebasan KMV Sinar Kudus dari perompak di Somalia pada 2011; Operasi pembebasan 347 sandera di Tembagapura, Papua pada 2017; dan operasi kemanusiaan lainnya.
Satuan 81 Kopassus terdiri dari prajurit-prajurit dengan kualifikasi di atas rata-rata, yang telah melalui proses seleksi ketat di Kopassus. Unit setara grup ini beroperasi di bawah kerahasiaan yang ketat, memastikan bahwa setiap misi yang mereka jalankan tetap efektif dan terjaga dari pengamatan publik. Visi dan misi Satuan-81 adalah untuk ‘tidak diketahui, tidak terdengar, dan tidak terlihat’.
Dikutip dari buku berjudul ‘Kopassus untuk Indonesia’ dijelaskan, Satuan 81 Kopassus mampu melaksanakan operasi lawan terorisme atau counter terrorism, penjinakan bom, bantuan intelijen teknik, perang kota, pengamanan VVIP, serta melaksanakan sabotase, dan lawan sabotase.
Tugas operasi pasukan antiteror yang dilengkapi dengan perlengkapan khusus ini untuk melakukan tindakan cepat dan tepat mengatasi aksi teror terhadap sasaran strategis terpilih baik di dalam maupun di luar wilayah yuridiksi nasional Indonesia.
Satuan yang memiliki semboyan ‘Siap, Setia, Berani’ ini bermarkas di Cijantung, Jakarta Timur. Satuan ini terdiri dari dua batalyon yakni, Batalyon 811 Sat-81 Kopassus dan Batalyon 812 Sat-81 Kopassus. Kedua batalyon ini dipimpin seorang perwira berpangkat Mayor.
Sejarah Pembentukan Satuan 81 Kopassus
Satuan 81 Kopassus belum lama merayakan hari ulang tahun ke-42 sejak didirikan pada 30 Juni 1982. Pendiriannya tak lepas dari perkembangan jaringan terorisme internasional pada periode 1970 hingga 1980-an. Ancaman tersebut sering muncul dalam bentuk pembajakan pesawat, terutama pada tahun 1970-an, ketika tindakan teror seperti itu banyak dilakukan karena dianggap efektif untuk menarik perhatian internasional.
Ancaman terorisme itu akhirnya menjadi kenyataan. Pesawat DC-9 Garuda Woyla dibajak di Bandara Don Muang, Bangkok, Thailand oleh kelompok ekstremis Komando Jihad pada 28 Maret 1981. Pembajak menuntut agar pemerintah RI membebaskan tahanan yang terlibat penyerangan Kosekta 8606 Pasir Kaliki (Bandung), tahanan dalam kaitan teror Warman (yang terjadi di Raja Polah 22 Agustus 1980), dan tahanan yang terlibat Komando Jihad tahun 1977/1978. Selain itu, para pembajak juga meminta uang USD1,5 juta.
Pemerintah RI menolak tuntutan pembajak. Jenderal M Jusuf yang menjabat Panglima ABRI menugaskan Kopassandha (saat ini bernama Kopassus) untuk melakukan operasi pembebasan sandra. Tim kecil yang dipimpin Letkol Inf Sintong Panjaitan akhirnya berhasil melumpuhkan kelompok pembajak yang berjumlah 5 orang tersebut. Dalam operasi Woyla, satu anggota tim Kopassandha gugur tertembak, sementara pilot pesawat Kapten Herman Rante yang juga terkena tembakan akhirnya meninggal dunia dalam perawatan medis.