Berita  

Meninjau Dampak Trauma Kemiskinan dari Perilaku Flexing Pejabat Publik

Muhammad Iqbal, seorang Ph.D di bidang Psikologi dan juga seorang Associate Professor di Universitas Paramadina, menyoroti fenomena perilaku flexing atau pamer kekayaan di media sosial sebagai masalah sosial kontemporer yang semakin serius. Kasus di Nepal menunjukkan bagaimana flexing oleh pejabat publik dan keluarganya dapat memicu krisis politik dan mengakibatkan turunnya presiden dari jabatannya.

Di Indonesia, budaya pamer harta oleh pejabat publik dan publik figur juga telah menimbulkan reaksi keras dari masyarakat. Fenomena ini menunjukkan bahwa flexing bukan sekadar ekspresi pribadi, tetapi juga memiliki implikasi sosial-politik yang luas. Tren flexing kini sudah merambah berbagai lapisan masyarakat melalui platform media sosial seperti Facebook, Instagram, TikTok, dan YouTube dengan konten berupa gaya hidup mewah, kendaraan eksklusif, dan liburan internasional.

Perilaku flexing merupakan upaya sadar untuk menampilkan kekayaan, prestasi, atau gaya hidup berlebihan di media sosial dengan tujuan mendapatkan validasi, pengakuan, atau kekaguman dari orang lain. Bagi pejabat publik dan publik figur, citra diri sangat penting sehingga flexing seringkali menjadi bagian tak terhindarkan dalam menunjang popularitas dan citra diri mereka.

Namun, di tengah kenyataan harga beras yang naik, adanya PHK, kesulitan dalam mencari kerja, dan ketimpangan ekonomi, masyarakat menjadi lebih sensitif dan terluka jika pejabat memamerkan kemewahan. Dalam perspektif psikologi, ciri-ciri flexing antara lain mengunggah foto atau video dengan barang mewah, menampilkan citra hidup sempurna tanpa kekurangan, menggunakan kata-kata yang menonjolkan status sosial, membandingkan diri dengan orang lain, dan mengejar validasi dalam bentuk pujian dari pengikut di media sosial.

Source link

Exit mobile version